-->

Asal-usul Desa Jatiwangi

Asal-usul Desa Jatiwangi

Pada zaman dahulu tersebutlah suatu kisah yang menceritakan negeri Jatiwangi yang dulunya masih bernama Wanayasa yang dipimpin oleh Arya Jiteng Jatiswara dengan permaisurinya: Dewi Basrini. Mereka dikaruniai dua orang putra: Rd. Anggana Suta dan Rd. Solihin.

Setelah hancurnya kerajaan Wanayasa, Pangeran Lontang Jaya yang berasal dari keturunan Daeng Mataram mendirikan sebuah pertapaan Tarikolot (bekas pertapaan kini dinamakan Buyut Subang) yang sekarang berada di wilayah Desa Jatiwangi.

Asal-usul Desa Jatiwangi
Kurun waktu beberapa tahun, terjadilah peperangan antara Kerajaan Sindangkasih yang bupatinya, Pangeran Muhamad, dengan Sumedang yang dipimpin oleh Pangeran Suryadilaga (Pangeran Cornel). Diakhiri dengan menyerahnya Pangeran Suryadilaga dan berjanji akan menyerahkan tanah sah bandar yang tadinya akan diakui sebagai wilayah Sumedang.

Setelah usai peperangan para pemimpin kembali ke daerahnya masing-masing. Namun Rd. Anggana Suta berangkat ke pertapaan Tarikolot, di mana pangeran lontang jaya pada waktu itu sedang menanam pohon jati, tapi yang hidup hanya satu, yang sampai sekarang berada di pinggir buyut (makam keramat) Subang Desa Surawangi.

Setelah mendengar berita kemenangan peperangan dengan Sumedang, Pangeran Lontang jaya berjanji akan mengangkat Rd. Anggana Suta untuk dijadikan penguasa di daerah Wanayasa.
Dalem Sumedang mengirimkan sepucuk surat kepada pertapaan Tarikolot untuk disampaikan kepada Rd. Anggana Suta bahwa daerah Wanayasa yag telah beberapa tahun dikuasai akan dikembalikan.
Berkenan itu pula Dalem Bantarjati yang dipimpin oleh Ki Bagus Rangin memberi gelar kepada Rd. Anggana Suta menjadi Bagus Manuk.

Pangerang Lontang Jaya setelah menerima surat yang dikirim oleh Pangeran Suryadilaga tergugah hatinya untuk merubah nama Wanayasa menjadi Jatiwangi. Perubahan itu diambil dari gada pusaka peninggalan kerajaan Wanayasa yang terbuat dari pohon jati yang mempunyai keharuman tersendiri.
“Jati” diambil dari “pohon Jati,” sedangkan “wangi” karena keharumannya. Maka hingga sampai sekarang daerah ini dinamakan “Jatiwangi.”

Menurut cerita, setiap orang yang menjadi Kuwu/Kepala Desa di Jatiwangi harus merawat dan membungkus buku pusaka dengan kain putih sepanjang 2 meter, dengan menyelipkan nama dan tahun mulai diangkat menjadi Kuwu serta setiap tanggal 1, 15, dan 30 tiap bulannya membuat sesajen untuk disuguhkan.