-->

Asal - usul Desa Japura

Asal - usul Desa Japura

Asal - usul Desa Japura



Pada sekitar abad IX - X daerah Astanajapura, atau disebut juga Angganapura, adalah Ibu Kota Kerajaan Medangkamulyan yang dipimpin oleh Raja Andahiyang, seorang raja keturunan Prabu Ciung Wanara sepupuan dengan Raja Banyakwangi dari Kerajaan Pajajaran. Keraton Medangkamulyan bernama Gajahpura.

Kawasan Medangkamulyan pada waktu itu meliputi : 1. Sebelah Utara : Laut Jawa 2. Sebelah Timur : Pulau Goseng (Gebang sekarang) 3. Sebelah Selatan : Manis - Luragung (Kuningan) 4. Sebelah Barat : Sungai Kalijaga Lingkungan Keraton Gajahpura (konon sebutan Japura merupakan penyederhanaan dari Gajahpura untuk lebih memudahkan pengucapannya) meliputi Japura Lor, Japura Kidul dan Desa Astanajapura sekarang. Pada waktu itu Kerajaan Medangkamulyan banyak mengalami peristiwa menggoncangkan seperti kerbau buntal mengamuk di tengah pasar, dan Sang Putri Dewi Rara Kuning digigit ular. Raja Andahiyang mempunyai dua orang puteri yang termashur akan kecantikan dan keelokannya, yaitu Dewi Rara Kuning dan Dewi Rogil Kuning.

Tidaklah mengherankan kalau keduanya banyak yang melamar, tak terkecuali senopatinya sendiri yang bernama Senopati Amukmarugul bermaksud meminangnya. Oleh karena maksudnya itu, Sang Senopati mengajukan permohonan kepada Raja Andahiyang agar berkenan mengadakan sayembara (Perang Tanding) antara dia dengan para pelamar lainnya, dengan maklumat " Barangsiapa berhasil mengalahkan Senopati Amukmarugul, itulah yang berhak menjadi suami Dewi Rara Kuning". Permohonannya dikabulkan Raja Andahiyang. Mendengar sayembara tersebut, Pangeran Mundingkawati atau Mundingkawangi putra Raja Banyakwangi dari Kerajaan Pakuan memohon restu kepada ayahandanya untuk mengikuti sayembara dikerajaan Medangkamulyan, karena iapun ingin mempersunting Sang Putri Dewi Rara Kuning. Atas Restu ayahandanya, berangkatlah Pangeran Mundingkawangi menuju Medangkamulyan. Ketika tiba di alun-alun Gajahpura, Senopati Amukmarugul sedang sesumbar menantang setiap pelamar yang ingin bitotatama jogol bagalan pati dengannya, karena hampir seluruh pelamar telah ia kalahkan.

 Majulah Sang Pangeran Mundingkawati menandingi Senopati Amukmarugul. Sang Raja Andahiyang waspada permana tinggal sajeroning winarah, sangat khawatir, karena yang maju ke medan laga adu jajaten dengan Senopati Amukmarugul adalah kemenakannya sendiri. Oleh karena beliau terlanjur mengadakan sayembara perang tanding yang tidak mungkin dibatalkan, maka untuk menghilangkan kekhawatiran, beliau memerintahakan Maha Patih Jayabrata mengawasi jalannya perang tanding, dengan maksud apabila Pangeran Mundingkawangi terdesak atau dikalahkan oleh Senopati Amukmarugul tidak terus dibunuhnya. Saat pertempuran berlangsung sengit, dimana masing- masing menggunakan ajian andalannya, terjadilah suatu keanehan.

 Pangeran Mundingkawangi seakan-akan bertahan, sedangkan Senopati Amukamrugul menyerang habis-habisan. Adapun yang menjadi penyebabnya pada waktu itu Pangeran Mundingkawangi menerima petunjuk halus (wangsit/bimbingan) dari eyang nenek ayahnya, Dewi Ratu Purbasari putri sulung Prabu Ciung Wanara. Sang Eyang Nenek Ratu Pubasari menjelma senagai seekor capung emas (papaton emas-Bhs.Sunda). Wangsitnya agar Pangeran Mundingkawangi memancing kelemahan Senopati Amukmarugul dengan menggunakan siasat halus. Sang Cucu harus mundur terus ke arah timur laut hingga, melewati Telagampes (Rawaurip sekarang), seranglah dengan tiba-tiba dan peganglah pinggang sebelah kirinya, terus bantingkan ke tanah, disanalah kelemahan Si Amukmarugul. Sang Pangerang Mundingkawangi mengikuti petunjuk halus eyang neneknya.

 Segala siasat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya hingga Amukmarugul terpancing dan dapat dikalahkan. Sang Senopati rubuh bermandikan darah, tidak lama kemudian ia berubah menjadi seekor belut putih. Tampilah Pangeran Mundingkawangi senagai pemenang sayembara, dan berhak memperistri Sang Putri Dewi Rara Kuning. Sementara itu di Negeri Wanagunarja Ki Godong Buntalan menderita sakit parah. Walau sudah berusaha kemana-mana untuk mengobati sakitnya, tak seorangpun yang sanggup menyembuhkannya. Oleh karena itu ia memasrahkan diri kepada Yang Maha Agung dengan cara bersemedi hingga ia mendapat ilham agar ketiga putranya yakni Pangeran Anggana, Pangeran Anggini dan Pangeran AyumanTampainganan mengabdikan diri (ngarasula) kepada Raja Andahiyang di Keraton Gajahpura Kerajaan Medangkamulyan.

 sebelum ketiga putranya berangkat, Ki Godong Buntalan memberi wejangan agar selama dalam perjalanan ketiga putranya dilarang berteduh apalagi minum meskipun dikala panas terik dan sangat dahaga. Kemudian apabila menemukan kolam sekalipun hereudang bayeungyang, haus dan dahaga jangan pula minum atau mandi. Selesai memberikan amanat, wafatlah Ki Godong Buntalan kemudian ketiga putranya berangkat menuju Medangkamulyan. Pada masa itu musim kemarau melanda sangat hebat, daun-daun luruh, pohon-pohonan banyak yang mati, rumput-rumputan kering kerontang, demikian pula dengan hewan ternak bergelimpangan mati karena kehausan.

 Ditengah-tengah perjalanan ketika hampir sampai ketempat tujuan Keraton Gajahpura, Pangeran Anggana kepayahan seakan -akan tak sanggup meneruskan perjalanan. Kebetulan disana ada sebatang pohon waru yang tinggi dan rindang serta menyejukkan. Segeralah Pangeran Anggana bernaung di bawahnya. Kedua adiknya berteriak memperingkatkan agar kakaknya tidak melanggar nasihat orang tua (Ayahnya). Pangeran Anggana tidak menggubris peringatan adik-adiknya, hingga suratan takdir bagi dirinya, begitu beteduh dibawah pohon waru, ia berubah jenis (bentuk) menjadi seekor ular besar bertanduk yang menyeramkan dan menakutkan. Kedua kakak beradik ini menangis sedih mengapa kakaknya tidak mendengar dan tidak memperhatikan amanat ayahnya.

 Dengan meneteskan air mata Sang Ular Pangeran Anggana menasehati kedua adiknya agar terus melanjutkan perjalanan dan jangan coba-coba melanggar nasehat ayahnya seperti dirinya. Ia mengatakan"Walaupun kakak berwujud lain, kakak akan tetap mencintaimu dan membantumu. Tunggulah kakak di Gajahpura. Apabila ada yang digigit ular, obatilah olehmu dengan daun siagadopa yang kembar setangkai sebelah-menyebelah menelentang dan menelungkup. Oleskan serbuk daun itu pada luka bekas gigitan. Selamat berjumpa di Gajahpura.

 Baru saja kedua kakak beradik ini melanjutkan perjalanan, Pangeran Anggini tak sanggup lagi menahan haus dan dahaga. Ketika melewati sebuah kubangan (Kolam), Pangeran Ayuman (Tampaingenan) sangat khawatir kakaknya akan melanggar lagi nasehat ayahnya. Dan terbukti, meskipun Pangeran Anggini telah diperingatkan, ia minum dan mandi dikolam itu sepuas-puasnya dengan tidak menghiraukan nasehat sang adik. Tidak lama kemudian nasib Pangeran Anggini tidak berbeda dengan kakaknya Pangeran Anggana. Ia berubah jenis menjadi seekor kerbau buntal jantan yang sangat besar. Sebelum pergi meninggalkan adiknya ia berpesan pada adiknya " Adikku sayang, jika nanti ditengah-tengah pasar ada kerbau buntal mengamuk, sudah barang tentu tidak ada seorangpun yang berani mendekatinya, hanya engkaulah yang bisa menangkapanya. Ingatlah wahai adikku! Peganglah ujung ekornya, menyelinaplah engkau kesana, dan terus tangkap dari bagian depannya erat-erat, ia tidak akan berbuat apa-apa kecuali menunduk dan berlutut". Pangeran Ayuman bersedih hati dengan kejadian beruntun yang menimpa kedua kakaknya. Dalam hatinya berkata : "Apakah nanti dirinya akan berubah jenis menjadi mahluk lain seperti kedua kakaknya". Setelah itu dengan tekad membaja ia melanjutkan perjalanan menuju Gajahpura. Sesampainya Pangeran Ayuman di alun-alun Medangkamulyan, ia masih diliputi perasaan cemas dengan kejadian yang menimpa kedua kakaknya, kemudian ia duduk bersila untuk bersemedi mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Dalam melaksanakan semedinya ia mendengar suara gaib tanpa rupa mengingatkannya "Wahai Ayuman adikku, janganlah engkau cemas dan khawatir, tabahkanlah hatimu, bahwa kesaktian kakakmu tentu lebih dari pada orang (Penguasa) yang ada di Keraton Gajahpura. Teruskanlah keinginanmu, selamat berjuang". Sementara itu dengan kekalahan Senopati Amukmarugul yang kemudian berubah wujud menjadi seekor belut putih di sebuah sumur yang berisi banyak lumpur di Tegalampen Pakuhwerakas (sekarang Rawaurip), Prabu Andahiyang sangat sedih karena kehilangan Senopatinya, namun bersyukur kemenakannya tidak terbunuh karena memperolah kemenangan. (Sumur berisi lumpur disebut juga Sumur Langgeng atau Sumur Lumer. Langgeng artinya abadi, sekalipun musim kemarau sumur itu tetap berisi air; Lumer artinya berisi tanah encer/lumpur yang tidak akan mengeras). Seperti telah dijanjikan dalam Sayembara, Pangeran Mundingkawangi berhak untuk bersanding di pelaminan memperistri Putri Dewi Rara Kuning yang cantik jelita. Upacara perkawinan pun dipersiapkan dan akan diselenggarakan secara besar-besaran. Oleh karena Pangeran Mundingkawangi adalah kemenakannya sendiri, upacara perkawinan akan diserahkan kepada Maha Patih Jayabrata. Sebelum sampai pada upacara perkawinan, Sang Putri Dewi Rara Kuning disyaratkan mandi di halaman kepatren dengan diiringi oleh emban. Ketika Dewi Rara Kuning tengah enak-enaknya mandi, ular Anggana telah siap menyambarnya. Ketika Sang Putri akan naik ke darat, disambarlah kakinya dan terus dipagutnya. Dengan kejadian ini gegerlah masyarakat Gajahpura Medangkamulyan. Dicarilah ahli pengobatan ke berbagai pelosok untuk mengobati Sang Putri, namun tak seorangpun yang mampu mengobati. Patih Jayabrata yang sibuk melaksanakan perinta Raja Prabu Andahiyang umtuk mencari orang yang mampu menyembuhkan Sang Putri, secara kebetulan melihat seorang jejaka sedang menyendiri dibawah pohon beringin ditengah alun-alun. Setelah didekati bertanyalah ia pada sang jejaka. Siapakah engkau dan darimana asalanya? Mengapa menyendiri disini? Jejaka tadi yang tiada lain adalah Pangeran Ayunan (Tampaingenan) menjawab bahwa dirinya berasal dari Negara Buntalan Wangunarja dan jauh-jauh datang ke Japura untuk membaktikan diri kepada Prabu Raja Andahiyang sesuai dengan wasiat ayahandanya. Atas kejadian yang menimpa Sang Putri, Maha Patih Jayabrata mencoba meminta tolong kepadanya untuk memberikan pengobatan. Pangeran Ayunan mengetahui bahwa gigitan ular itu adalah gigitan ular Anggana (Kakaknya). Teringat akan nasehat kakaknya ketika berubah bentuk sewaktu berteduh dibawah pohon waru, dengan rendah diri disanggupilah permintaan itu, tetapi sebelumnya terlebih dahulu memohon ijin untuk mencari dedaunan obatnya. Setelah Pangeran Ayunan mendapatkan daun siagadopa kembar setangkai, ia datang ke keraton kemudian daun itu ia jadika serbuk dan dioleskan pada bekas gigitan ular. Sungguh ajaib hanya dalam hitungan detik luka parah Sang Putri sembuh seketika. Berita kesembuhan Sang Putri disambut suka cita seluruh rakyat Kedangkamulyan. Baru saja Sang Putri Dewi Rara Kuning sembuh dari sakitnya, tiba-tiba tersiar kabar berita ada keributan di pasar sehingga suasana menjadi kacau balau, orang-orang panik berlarian tidak tentu arah masing-masing mencari keselamatan, dikarenakan ada seekor kerbau buntal yang mengamuk ditengah-tengah pasar. Korban pun berjatuhan, ada yang luka parah banyak pula yang pingsan. Segera Prabu Andahiyang memerintahkan Maha Patih Jayabrata untuk mengambil tindakan pengamanan melumpuhkan atau menangkap kerbau buntal. Meskipun prajurit dikerahkan sekuat tenaga, akan tetapi mereka tidak sanggup melumpuhkannya. Tidak sedikit pula prajurit yang menjadi korban keganasan kerbau yang sangat beringas tersebut. Akhirnya Sang Prabu Andahiyang dan Maha Patih Jayabrata mencoba menawarkan kepada Pangeran Ayunan untuk meredakan kejadian dan menangkap kerbau itu. Dengan rendah diri Pangeran Ayunan menyanggupinya. Sesuai dengan nasehat kakaknya Pangeran Anggini yang berubah menjadi kerbau buntal ketika kakaknya mandi dan minum pada sebuah kubangan di tengah-tengah perjalanan menuju Medangkamulyan, Saang Pangeran melangkahkan kakinya dengan hati-hati dan percaya diri menuju sebelah kiri, lalu ekor kerbau yang beringas itu segera ia pegang erat-erat. Sungguh kejadian yang luar biasa, tiba-tiba kerbau itu menjadi jinak dan berlutut. Riuh rendahlah orang-orang yang menyaksikan kejadian itu, seraya mengaggumi keperkasaan Pangeran Ayunan. Suasana pun menjadi aman tentram. Atas restu Raja Prabu Andahiyang, perkawinan yang semula hanya akan dilangsungkan antara Dewi Rara Kuning dengan Pangeran Mundingkawangi, juga dilaksanakan antara Dewi Rogil Kuning dengan Pangeran Ayunan yang disambut gembira seluruh rakyat dengan pesta yang berlangsung amat meriah. Keraton selanjutnya dibagi tiga bagian, yakni Medangkamulyan, Anggunapura dan Gajahpura yang kemudian dikenal dengan sebutan Japura. Daerah Japura yang melingkar meliputi Luragung-Manis-Sungai Kalijaga dan Pulau Goseng daerah naungan Kerajaan Pajajaran. Daerah Japura ketika agama islam mulai berkembang sekitar abad XIV-XV tetap seperti pada masa kekuasaan Raja Prabu Andahiyang yaitu : Sebelah Selatan : berbatasan dengan daerah Lurangung -Manis (daerah Kuningan) Sebelah Timur : berbatasan dengan P. Gosong (Gebang) Sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Jawa Konon ketika penduduk Japura pertama kali memeluk agama islam, tempat yang dipakai untuk beribadah adalah "Masjid Singkil" di Desa Asatanajapura sekarang. Suatu ketika karena mereka baru memeluk agama Islam, mereka masih kadung terhadap kepercayaan lamanya(Hindu/Budha), seakan-akan mereka itu "Madep Rai Mungkur Ati", hingga ditengah-tengah Masjid tergantung kepala babi. Setelah hal ini diketahui Sinuhun Purba (Sinuhun Gunung Jati), beliau merasa malu akan perbuatan pura-pura penduduk Japura. Oleh karena itu beliau mengatakan apa aja sok pura-pura (Itulah sebabnya daerah ini disebut Japura). Beliau bermusyawarah dengan Rama Ua Pangeran Cakrabuana (Mbah Kuwu Cirebon) untuk mengenyahkan masjid tersebut dan diganti dengan yang baru serta tempatnya pun harus berpindah. Seketika itu Masjid Singkil ditendangnya, dan konon masjid ini jatuh di Pulau Nusakabangan, dimana jenis dan bentuknya diyakini masih ada samapi sekarang berupa batu (Membatu), demikian pula tiang-tiang dan atapnya belum berubah (seperti bentuk lama). Hal ini telah dibuktikan oleh salah seorang pahlawan pejuang kemerdekaan RI putra Japura Kidul yakni Kiyai Mursid yang ditawan oleh militer Belanda semasa aksi militer tahun 1947 yang ditawan di pesantren Kluwut Kabupaten Tegal dan diasingkan ke Pulau Nusakabangan. Sebagai ganti Masjid Singkil (Masjid Japura Lama) yang ditendang Mbah Kuwu Cirebon, beliau sanggup menggotong/memindahkan Masjid Japura Lor (Masjid Lawas) yang diletakkannya di sekitar alun-alun Japura Lor (Japura Kidul Sekarang), dalam tempo hanya satu malam. Masjid Lawas adalah Masjid yang dikeramatkan penduduk (Sekarang merupakan Masjid Jamie Kedua).