ASAL-USUL DESA AMIS
Dikisahkan sekitar abad 15-an masehi di kawasan timur hutan Sinang terdapat komunitas masyarakat yang sudah berbudaya. Komunitas ini bernama pedukuhan Cempakamulia yang dipimpin oleh Ki Dusta yang konon menurut narasumber berasal dari wilayah utara (Cikedung) dan menjadi pemuka agama kesanghyangan dipedukuhan tersebut yang memiliki integrasi yang kuat terhadap keyakinan dan wilayahnya seperti kisah Ki Ageng Parean di Kandanghaur, beliau juga memiiki seorang puteri yang bernama Nyai Dyahrengganis.
Masyarakat pedukuhan ini berasal dari pendatang baik sebagai pencari lahan garapan baru, pengolah hasil hutan atau pengungsi/pelarian dari daerah lain yang kemudian menetap disana.
Penduduk dukuh Cempakamulia menganut agama Kesanghyangan karena pengaruh dari wilayah pasundan diselatannya sedangkan bahasa dan aksennya adalah akulturasi bahasa sunda dan jawa yang memunculkan keunikan sendiri yang disebut bahasa Indramayu 'reang' bukan bahasa Indramayu 'isun'. Ki Dusta yang digambarkan sudah tua renta ini memiliki dua orang murid mereka adalah Ki Koang dan Ki Brangbang yang konon digambarkan juga keduanya temperamental dan sangat menyukai minum tuak, menari dan musik tetapi sangat setia dengan gurunya.
Perjalanan Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang dari Pakungwati sampai juga di pedukuhan ini. Perjalanan Cakrabuana ini dalam rangka menyebarkan agama islam. Mengetahui masyarakat Cempakamulia ini belum menganut agama Islam, Cakrabuana berupaya mengislamkan mereka dengan cara-cara halus. Salah satu yang dilakukannya adalah menjadi dalang pertunjukan wayang kulit di perempatan Bugisbugiana (sekarang Majasayun) dan konon wayangnya dibuat mendadak dari kulit Banteng yang ditangkap di hutan Sinang dan tercium amis (anyir) oleh semua yang hadir. Penduduk Cempakamulia pun menonton wayang kulit ini tapi oleh sang dalang diwajibkan untuk bersama-sama membaca dua kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam dan untuk lelaki diwajibkan pula sunat.
Beberapa hari kemudian setelah pertunjukan, Cakrabuana harus kembali ke Cirebon dan mengutus Ki Walidin untuk menetap dan mengajarkan ilmu keislaman pada penduduk setempat yang baru masuk Islam termasuk menyunati para lelakinya tersebut. Ki Dusta menyadari ada upaya mengganti keyakinan penduduk dukuh Cempakamulia yang sudah dianut bertahun-tahun dengan agama Islam dan Cempakamulia perlahan akan dikuasai Cirebon.
Hal ini membuat Ki Dusta tidak menyukai keberadaan Ki Walidin dan menunggu perkembangan selanjutnya tetapi berbeda dengan Ki Koang dan Ki Brangbang sebagai sang murid, keduanya beraksi menentang penyebaran agama islam ini misalnya dengan menyebarkan kabar bahwa kelamin pria yang akan disunat akan dipotong dengan pedang. Menghadapi agitasi dan intimidasi ini Ki Walidin tidak menyerah apalagi penduduk Cempakamulia sebagian telah memeluk agama Islam.
Pertentangan ini semakin hari semakin memanas dan sebagai puncaknya adalah tewasnya Ki Walidin yang tubuhnya dicincang oleh Ki Koang dan Ki Brangbang lalu mayatnya dikubur disuatu tempat. Tewasnya Ki Walidin yang tidak wajar diketahui oleh Cakrabuana di Pakungwati sehingga Ki Dusta dan muridnya pantas dihukum dan tanpa menunggu lama apalagi jarak yang akan ditempuh sangat jauh, Cakrabuana segera mengirimkan pasukan kecil pilihan dari Pakungwati dan santri-santri dari Pasambangan, ditunjuklah Ki Ageng Agrantaka dan Ki Ageng Krapyak untuk memimpin pasukan ini dan diperintahkan ke Cempakamulia secepatnya sedangkan Cakrabuana akan menyusul kemudian.
Kabar kematian Ki Walidin ini membuat pedukuhan Cempakamulia mencekam dan penduduk ketakutan. Penduduk yang sudah memeluk agama Islam segera mengungsi ke tempat aman. Setelah mengetahui muridnya adalah pembunuh Ki Walidin, Ki Dusta segera mengumpulkan orang-orang yang masih dibawah pengaruhnya untuk dipersiapkan menghadapi segala kemungkinan terutama dari Pakungwati. Dengan kemampuan dan keahlian perang seadanya terbentuklah pasukan kecil Cempakamulia yg dipimpin Ki Dusta sendiri dan dibantu Ki Koang dan Ki Brangbang mereka menyiapkan segala sesuatunya disebuah tanah lapang atau tegalan disisi utara dan timur dukuh Cempakamulia.
Singkat waktu pasukan inipun akhirnya bertemu dengan pasukan Pakungwati dan perang pun tidak bisa dihindari. Perlu diketahui peperangan ini tak sebesar perang Rajagaluh atau perang Paregreg yang melibatkan ribuan prajurit dan banjir darah sampai mengalir (bahasa Indramayu : ngrapyak), andaikan ada cerita bahwa peperangan ini sangat besar sampai banjir darah bukan berarti seperti banjirnya air setelah hujan dijalan-jalan. Peperangan ini tak tercatat dalam ensiklopedi perpustakaan Kesultanan Cirebon atau catatan lain, mungkin wilayah ini secara geografis sangat terpencil ditengah hutan saat itu walaupun tidak tertutup kemungkinan ada faktor lain hingga kejadian ini tidak dicatat. Karena banyaknya korban yang tewas dan darah berceceran maka tegalan tersebut berbau amis dan tanahnya pun berubah warna.
Dalam peperangan ini pasukan Ki Dusta sebagai pihak yang kalah tapi mereka tak mau tunduk apalagi harus masuk Islam. Tegalan bekas peperangan ini masih ada sampai sekarang dan disebut tegal Peninjauan karena saat peperangan terjadi Cakrabuana melihat/meninjau dari kejauhan.
Berawal dari bau amisnya darah korban peperangan ini nama Amis digunakan sebagai nama desa jadi bukan amis dari kata bahasa sunda yang artinya manis yang kemudian bisa disalahartikan untuk hal-hal tertentu yang negatif..
Setelah peperangan ini berakhir pedukuhan Cempakamulia kemudian ditinggalkan dan penduduk yang sudah menganut agama islam pindah ke pedukuhan baru disebelah barat tegal Peninjauan yang sebelumnya menjadi tempat istirahat prajurit Pakungwati.
Didasari peristiwa lampau tersebut sampai sekarang warga desa Amis tabu menanggap wayang kulit atau kesenian lain yang menggunakan media kulit seperti Kuda Lumping sebab jika dilanggar maka diyakini akan muncul prahara seperti dahulu atau meninggalnya salah seorang anggota masyarakat setempat dan jika ada adat-adat desa lain pun bukan wayang kulit yang dipertunjukan seperti desa-desa sekitar tetapi warga desa ini menggunakan wayang golek cepak dari desa Gadingan, Sliyeg, Indramayu.